weLLLcoommme.............!

cOrat - CoreT isii Hati..
Disaat merasa jenuh,

mencoba untuk menuangkan apa yang di pikirkan dalam sebuah tulisan.

Minggu, 13 Maret 2011

Hikmah Kehidupan (Abdurrahman bin Auf)

Sahabat ini “diramalkan” akan masuk surga dengan merayap – tidak secepat kilat atau dengan kepala tegak seperti sahabat Nabi lainnya. Tapi ia tak berkecil hati. Hadist tersebut, katanya, bukan ramalan, melainkan peringatan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Berita tentang dirinya telah tersebar. Tapi Abdurrahman bin Auf tidak bersedih mendengar ucapan Aisyah. Ia sendiri juga tahu, perkataan Aisyah itu benar, bukan isapan jempol. Memang Rasulullah pernah menyatakan, “Aku melihat Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan merayap.”
“Ucapan tersebut disampaikan Rasulullah berulang kali,” ujar Aisyah kepada beberapa sahabat baiknya. Padahal Rasulullah menyatakan, sejumlah sahabat lainnya bakal masuk surga dengan kecepatan seperti kilat, atau sambil berjalan dengan kepala tegak. Mengapa Abdurrahman, yang dikenal begitu mulia budi pekertinya, dan sangat besar jasanya, justru dikatakan bakal masuk surga sambil merangkak? Apa kesalahannya?
Keheranan Aisyah kian menjadi-jadi pada waktu ia menyaksikan Abdurrahman bin Auf membawa barang dagangan terdiri atas berbagai macam keperluan hidup yang dimuat oleh 600 ekor unta beban dari Syam, lalu barang dagangan itu dibagi-bagikannya dengan cuma-cuma kepada penduduk Madinah, di masa Utsman bin Affan. Alangkah dermawannya Abdurrahman namun betapa malang peruntungannya!
Pada suat kesempatan, Abdurrahman mendatangi Aisyah dan berkata, “Umul Mu’minin telah mengingatkan saya akan sebuah hadits yang tak ‘kan pernah terlupakan seumur hidup.”
“Betul, itulah yang dikatakan Rasulullah tentang Tuan di hari pembalasan,” ujar Aisyah.
“Karena itulah saya akan memacu diri supaya lebih banyak lagi beramal shalih dan lebih ikhlas bersedekah. Sebab saya tahu, hadits yang semacam itu bukanlah merupakan ramalan, melainkan peringatan kepada saya untuk memperbesar ibadah dan pengabdian kepada Allah agar nasib saya tidak sejelek itu,” sahut Abdurrahman.
Aisyah tercenung, memikirkannya. Ia terkesan oleh jawaban Abdurrahman yang bestari. Dan Aisyah menyaksikan sendiri, betapa setelah itu Abdurrahman bin Auf lebih tekun melakukan kebajikan-kebajikan, dengan pelbagai cara dan kesempatan.
Itulah keikhlasan Abdurrahman sejak pertama kali memeluk agama Islam. Ia mendengar seruan Islam dari Abubakar Ash-Shidiq bersama Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Thalhah bin Ubaidillah. Mereka tidak berdalih-dalih lagi, sebab yakin betul akan kejujuran Abubakar dan kebenaran ajaran Muhammad SAW sebagai utusan Tuhan.
Sejak itu, saudagar yang cerdik dan kaya raya tersebut tidak pernah surut membela Rasulullah dalam perjuangan mensyiarkan Islam.
Abdurrahman termasuk sahabat yang telah tiga kali menjalankan hijrah demi agamanya. Sebagai sahabat dekat Nabi, ia di percaya oleh para sahabat lainnya dalam menyelesaikan berbagai perkara. Di antaranya masalah pengangkatan khalifah sepeninggal Rasulullah. Kepercayaan ini tidak dikhianatinya. Ia bertindak adil dan bersikap polos, karena kepercayaan para sahabat tersebut juga didasari keistimewaan-keistimewaannya sepanjang mendampingi Rasulullah semasa hidupnya.
Misalnya dalam peristiwa Perang Tabuk, yang terjadi pada tahun kesembilan bulan Rajab. Ekspedisi itu terkenal amat sukar dan sengsara, hingga kedatangan Nabi terlambat, dan sudah didahului Abdurrahman beserta beberapa ratus anak buahnya. Di tempat perhentian, Abdurrahman mengimami salat fardhu Zhuhur.
Persis ketika ia sedang bertakbir, Rasulullah pun tiba bersama pasukannya. Maka Rasulullah langsung berdiri di belakang Abdurrahman sebagai makmun. Dengan demikian Abdurrahman-lah satu-satunya sahabat yang pernah mengimami salat di muka Nabi tanpa mendapat perintah dari beliau. Bahkan Abu bakar sendiri hanya dua kali menjadi imam di depan Nabi, itu pun atas perintah beliau, karena Nabi sedang sakit.
Sikapnya yang terpuji adalah kebersahajaan dan ketulusannya. Pada waktu tiba di Madinah sebagai muhajirin, seperti para sahabat dari Makkah lainnya, Abdurrahman tidak membawa hartanya sepeser pun. Sahabatnya dari pihak Anshar menawarkan bantuan kepadanya.
Sahabat itu, Sa’ad bin Rabi’, berkata, “Saya memiliki kekayaan melimpah. Tuan ambillah sebagian, buat saya masih tersisa amat banyak. Dan saya juga mempunyai beberapa sahaya cantik. Silakan ambil salah satu untuk istri Tuan.”
Abdurrahman dengan terharu menyambut baik tawaran itu. Namun, secara halus ia menampik. “Maaf. Bila Tuan hendak menolong saya, tunjukkan saja jalan ke pasar.”
“Mengapa begitu?” tanya Sa’ad keheranan.
“Saya ini seorang pedagang. Dan bagi pedagang, lahan untuk mencari penghidupan adalah pasar, bukan di gudang Tuan,” sahut Abdurrahman seadanya.
Maka demikianlah yang terjadi. Setelah beberapa lama menetap di Madinah, Abdurrahman bin Auf menjadi hartawan kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar